Bagaimana Budidaya Lobster Air Tawar
Di
internet, di koran hingga di tabloid perikanan dan pertanian lobster
air tawar menjadi primadona. Iklan di majalah-nya pun termasuk gencar.
Bahkan ada seorang trainer sekaligus penulis buku lobster air tawar yang
beken dan sering muncul di TV mengulas bahwa bisnis LAT-nya (singkatan
dari lobster air tawar) sudah menghasilkan keuntungan sekian puluh juta.
Tapi informasi terakhir yang saya dapatkan, belakangan ini dia sudah
tidak lagi menggeluti bisnis lobster air tawar. Malahan ia muncul dengan
bisnis barunya.
Dan dulu isunya, dengan perawatan yang
cukup mudah, lobster air tawar mampu mempunyai nilai jual 120 ribu
hingga 200 ribu per kilo. Fantastis! Tapi kenyataannya, setelah 2 tahun
kami menjalani trend bisnis ini, kami hanya mampu menjual di sebuah
restoran di Jogja hanya dengan harga 100 sampai 125 ribu per kilo.
Ukurannya terbilang besar, 8 ekor per satu kilonya. Masalahnya, untuk
mencapai ukuran segitu membutuhkan waktu yang sangat lama dengan biaya
yang terhitung tinggi. Kami juga menemui fakta bahwa pertumbuhan pasar
lobster air tawar ini berjalan sangat lambat sekali. Dua kolega kami
dari kota besar pun hanya mampu menjual antara 50-300 kilo per bulannya.
Sebuah angka yang sangat kecil untuk ukuran komoditas perikanan.
Karena pertumbuhan pasar yang lambat,
banyak pebisnis lobster air tawar yang gulung tikar. Termasuk para
trainer dan “suhu-suhu” kami yang mengajari kami bagaimana cara budidaya
LAT yang baik. Apalagi orang yang hanya coba-coba untuk berbisnis
indukan dan bibit. Bablas…! Mereka termakan dengan mitos bahwa
budidayanya bisa dilakukan di teras rumah dengan hanya menggunakan
akuarium atau kolam semen. Selain itu, mereka juga diiming-imingi
apabila membeli bibit dari trainernya, lobster hasil panennya akan
dibeli. Kenyataannya, nol besar. Ironisnya, salah satu “suhu” atau guru
kami akhirnya tidak bisa menyediakan LAT sejumlah yang kami pesan.
Padahal dulu janjinya, ia akan membeli semua lobster yang diternakan
oleh anak didiknya.
Katanya ia tahu pasar yang membutuhkan
lobster air tawar. Justru terbalik posisinya sekarnag. Kami yang
akhirnya membeli LAT dari petani-petani di Jogja termasuk suhu kami
tersebut. Kami juga yang akhirnya tetap bertahan sampai akhirnya kami
mampu menjualnya. Akhirnya untuk mencari kesimpulan kelangsungan bisnis
baru ini, kami memutuskan untuk melakukan riset konsumen untuk
mengetahui preferensi mereka terhadap lobster air tawar. Riset pasar ini
melibatkan 30 responden dari berbagai macam latar belakang yang
mempunyai kebiasaan makan seafood di restoran. Metode riset pasar yang
kami pilih adalah wawancara perorangan. Pemilihan sample respondennya
menggunakan sistem refferal sampling atau snowball sampling. Lobster
yang kami uji cobakan untuk dinikmati responden adalah ukuran 15-20 ekor
per kilo, disajikan 5 ekor per porsinya.
Dari riset pasar tersebut kami tarik
kesimpulan bahwa urutan keinginan konsumen untuk membeli masakan dari
jenis udang-udangan adalah kesegaran udang, rasa dagingnya, ukuran atau
banyaknya daging dan terakhir harga. Untuk rasa LAT, konsumen
mempersepsikan lebih tinggi dibanding dengan jenis udang yang lain,
seperti galah,vanamei dan tiger. Tingkat keinginan konsumen untuk
mencoba kembali juga termasuk tinggi. Ketika ditanya dengan tanpa
memperhatikan harga pilih mana antara lobster air tawar dan udang
kesukaannya, 60% lebih menjawab memilih lobster air tawar. Pada
pertanyaan harga, jawaban mereka bervariasi. Mulai 25-35 ribu, 35-45
ribu, 45-60 ribu dan diatas 60 ribu. Kemudian 50% memilh angka 35-45
ribu, 30% memilih 25-35 ribu dan sebagian kecil memilih 45-60 dan diatas
60 ribu.
Akhir dari kesimpulan riset pasar kami
adalah, keunggulan kompetitif lobster air tawar terletak pada rasanya
yang lebih manis dan kenyal. Target untuk segmen pasar-nya adalah para
pecinta seafood yang membelanjakan minimal 50 ribu untuk sekali
makannya. Dan menurut pengamatan kita, biasanya para pedagang makanan
akan memberikan harga 2 kali lipat dibanding dengan harga mentahnya.
Jadi lobster air tawar ukuran 15-20 ekor bisa dijual ditingkat konsumen
antara 60-75 ribu per kilo. Dengan demikian harga ditingkat petani
antara 50-65 ribu per kilonya. Cuman repotnya, untuk tren bisnis ini
serapan pasarnya masih kecil karena tingginya harga yang dipatok oleh
pembudidaya lobster air tawar. Yaitu sekitar 85-100 ribu untuk ukuran 15
ekor per kilo. Padahal menurut hasil riset kami, tren bisnis lobster
air tawar kemungkinan tidak akan bisa menggaet pasar yang massal jika
harga yang ditawarkan jauh diatas harga udang pesaingnya.
Dan satu lagi, jika terjun di bisnis
ini, kita harus berjibaku untuk mengedukasi pasar karena komoditas LAT
adalah produk pioner. Itupun dengan catatan, harga yang ditawarkan
adalah 75 ribu sampai di tangan konsumen. Inti dari sharing pengalaman
kami di atas adalah jika dikemudian hari anda mendapatkan tren peluang
bisnis baru atau peluang investasi menguntungkan, anda harus
berhati-hati jika ingin terjun di dalamnya. Anda harus benar-benar
pelajari bisnis tersebut. Lihatlah produk tersebut dari sudut pandang
konsumen. Apakah produk bisnis baru tersebut bisa diterima oleh jenis
pasar yang anda bidik atau tidak. Jangan terburu-buru untuk terjun di
dalamnya. Buatlah rencana bisnis yang matang karena dengan rencana
bisnis yang matang tersebut, insya Allah anda akan bisa melihat
“lubang-lubang” dan “rambu-rambu” di trend bisnis baru tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar